-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sedikit Lebih Pandai Menjilat, Bisa Pula Dapat Dobel dari Beragam Calon, Mirisnya Demokrasi ?

Monday 17 August 2020 | Monday, August 17, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-08-17T23:00:53Z


Duri, (Redaksiriau.com) - Benar-benar buruk! Jauh lebih buruk dari virus game online. Sebab virus yang ini memiliki daya rusak yang hebat, berskala masif, terbuka dan berketerusan.

Ironisnya, jika suatu kali nanti sang kandidat berusaha mengembalikan dana keluar tadi, misalnya dengan korupsi, maka kitapun tanpa ragu menghujatnya habis-habisan. Hanya saja ketika tiba masa kampanye, perilaku politik uang kembali kita mainkan. Persis seperti lingkaran setan, bedanya yang menjadi setan itu adalah kita sendiri.

Sampai kapan kita demikian? Apakah masih mungkin kita berpaling darinya?

Alangkah  Sejak kecil terbiasa sportif dan terdepan tetap mengabdi tanpa pamrih.

Kemarin hari Kamis tanggal 13 Agustus 2020 di Desa kami -dan juga desa-desa lain- menggelar pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa alias BPD, mendadak sontak pikiranku teralih ke sana. Dan aku menjadi masygul luar biasa. Juga bercampur rasa ngeri dan linu hati, khususnya tentang masa depan bangsa dan negara ini ke depannya. Serta tentu saja belia-belia tanpa dosa yang akan meneruskan tongkat estafetanya.

Pangkal soalnya adalah politik uang. Dan itu lebih berbahaya dari main game. Sebab dia bisa dimainkan di dalam dan luar rumah.

Jika game dimainkan anak-anak (atau oleh orang-orang yang masih merasa anak-anak), maka politik uang dimainkan orang dewasa dan kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. Lalu semakin lama semakin dianggap lumrah dan diterima sebagai "kebenaran".

Tak ada yang lebih buruk daripada keburukan yang diperlihatkan secara terbuka, diakomodasi sebagai tradisi dan diwariskan kepada orang-orang muda!

Bayangkan saja, untuk level Parlemen Desa dengan kewenangan terbatas dan gaji tak seberapa kita bersedia membayar warga untuk memilih. Membayar di sini adalah dalam pengertian yang harfiah: dengan duit. Kabarnya, uang yang beredar adalah sebesar Rp 50 ribu perkepala, bahkan ada yang mencapai Rp 100 ribu.

Dengan targetan suara adalah sekitar 200 orang -yang memilih hanya satu orang perkepala keluarga-- maka modal yang dikeluarkan adalah sebesar sekitar Rp 20 juta. Namun itu baru modal minimal, sebab akan ada skema "timpa-menimpa" sehingga anggaran tadi bisa berlipat dua.

Berapa gaji seorang anggota BPD? Di tempat kami itu sekitar Rp 2 juta perbulan. Jika seseorang calon mengeluarkan dana sebesar 50 - 60 juta untuk persiapannya (termasuk pembelian APK dan pertemuan-pertemuan), maka total biaya tadi kira-kira setara dengan gaji separuh periode menjabat. Tentu itu seandainya benar-benar terpilih (kalau gagal menang, pilihannya hanya stres atau stroke).

Apa yang sebenarnya telah terjadi pada masyarakat dan demokrasi kita? Jika politik uang yang demikian sudah mafhum terjadi di desa-desa, pada orang-orang kecil dan pinggiran, lalu bagaimana pula dengan jenis pemilihan di atasnya? Sesungguhnya justru tradisi buruk di level itulah yang kini menurun ke bawah. Dan dengan pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada akhir tahun ini, percayalah bahwa kegiatan serupa akan kembali terulang. Kali ini dengan tingkat keseriusan yang lebih tinggi, dengan perputaran uang yang semakin besar dan dengan sikap/sifat permisifisme (baca: toleransi) masyarakat kita yang semakin longgar.

Politik uang kini betul-betul sudah membudaya, dan masyarakat kita bukannya tanpa dosa. Artinya, bukan hanya para kandidat yang berlumuran jelaga. Sebab tanpa hubungan simbiosis di antara kedua belah pihak, tradisi buruk ini takkan terjadi. Warga kita telah menganggap bahwa memilih adalah hak dan itu mesti dikonfirmasi dengan uang. Jadi pengertian hak di sini sama dengan meminta untuk dibayar.

"Ada uang jalannya ga?", itu kalimat yang sering kita dengar. Atau, "NPWP: nomor piro wani piro".

Tak ada lagi keperluan tentang memilih pemimpin yang berkualitas, selain harus memiliki isi "tas". Tak zaman lagi bicara visi-misi, terkecuali ada "gizi"-nya. Tak penting lagi menjadi tokoh, jika "tokeh"-nya tak ada. Biarlah culun asal bejibun, daripada senior tapi tekor.

Dan karena semua pejabat publik sekarang dipilih secara langsung, satu-satunya hal yang perlu dilakukan adalah menyiapkan uang lebih dahulu. Anda harus kaya-raya duluan, tak soal bagaimana caranya. Itu jika anda benar-benar berminat terjun ke administrasi pemerintahan, termasuk di level terendah. Tanpa uang yang banyak, tak usah bermimpi jadi pemimpin (terkecuali tetap jadi pemimpi). Jangan-jangan itu bahkan terkategori menjadi halusinasi pula.

Lalu karena demokrasi langsung kita juga berlangsung setiap tahun (pada berbagai tingkatan), maka mencari uang dalam momen-momen seperti itu memang menggiurkan. Bisa terjadi berulang-ulang, dan jika dibandingkan Benar-benar buruk! Jauh lebih buruk dari virus game online. Sebab virus yang ini memiliki daya rusak yang hebat, berskala masif, terbuka dan berketerusan.****(Mir/Sarehono)







×
Berita Terbaru Update